Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar kegiatan Gerak Sehat 2025 sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2025 dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2025.
Kegiatan ini berlangsung pada Minggu, 14 Desember 2025, bertempat di Balai Kota DKI Jakarta, dengan melibatkan lebih dari 1.800 peserta penyandang disabilitas beserta pendamping.
Wakil Ketua Giat DNIKS Gerak Sehat 2025, Loretta Kartikasari, menegaskan bahwa Gerak Sehat 2025 tidak hanya menjadi kegiatan seremonial, tetapi juga ruang nyata untuk membangun komunikasi inklusif dan kesetaraan sosial.
Mengusung tema “Sapa, Senyum, Sahabat Inklusi, Sejahtera dan Bahagia Semua”, acara ini dirancang sebagai ruang aman dan ramah bagi seluruh penyandang disabilitas dari beragam ragam disabilitas untuk saling berinteraksi, berekspresi, dan berbahagia bersama.
“Tema ini kami pilih karena sederhana, namun sarat makna. Sapa dan senyum adalah bahasa universal. Dari sanalah kesetaraan, kesetiakawanan, dan persahabatan inklusi bisa tumbuh. Teman-teman disabilitas berhak memiliki ruang komunikasi yang luas, nyaman, dan setara, tanpa stigma dan batasan,” ujar Loretta.
Menurut Loretta, nama Gerak Sehat merefleksikan filosofi bahwa setiap orang dapat bergerak dan berpartisipasi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Gerak tidak selalu dimaknai secara fisik semata, tetapi juga gerak sosial, gerak emosional, dan gerak kebersamaan.
Dalam kegiatan ini, peserta mengikuti berbagai aktivitas seperti jalan sehat, senam sehat, menari sehat, serta menikmati ragam hiburan inklusif yang ditampilkan oleh anak-anak dan komunitas dari berbagai organisasi sosial disabilitas.
Sejumlah penampilan seni memeriahkan acara, di antaranya permainan angklung dari SLB Amal Mulia, tari Betawi, penampilan 3 Diva, serta Foco Band. Seluruh rangkaian hiburan dirancang untuk menampilkan keberagaman potensi dan talenta penyandang disabilitas, sekaligus menjadi medium komunikasi yang hangat antara penyandang disabilitas dan masyarakat umum.
“Melalui seni dan gerak, kita ingin menunjukkan bahwa teman-teman disabilitas memiliki potensi yang luar biasa. Mereka bukan objek belas kasihan, tetapi subjek yang setara, kreatif, dan mampu berkontribusi,” kata Loretta.
Loretta menambahkan, isu utama yang ingin diangkat dalam Gerak Sehat 2025 adalah kesetaraan dalam ruang komunikasi inklusi. Ia menilai bahwa masih banyak ruang publik yang belum sepenuhnya ramah komunikasi bagi penyandang disabilitas, khususnya teman tuli dan disabilitas non-tampak.
“Komunikasi adalah kunci inklusi. Ketika komunikasi terbuka dan setara, maka rasa percaya diri, rasa aman, dan kebahagiaan akan tumbuh dengan sendirinya. Gerak Sehat 2025 kami rancang sebagai ruang komunikasi yang inklusif, di mana setiap orang bisa menjadi diri sendiri tanpa rasa canggung,” lanjut Loretta.
Sebagai seorang teman dengar, Loretta mengakui bahwa dirinya terus belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) agar dapat berkomunikasi secara langsung dan setara dengan teman tuli. Baginya, inklusi bukan sekadar wacana, melainkan proses belajar bersama yang berkelanjutan.
“Saya belajar BISINDO karena ingin berkomunikasi dengan nyaman dan setara. Ketika kita mau belajar bahasa satu sama lain, di situlah inklusi benar-benar terjadi. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah,” tuturnya.
Lebih jauh, Loretta juga secara terbuka menyampaikan bahwa dirinya merupakan penyandang disabilitas non-tampak, dengan spektrum ADHD dan disleksia. Pengalaman personal tersebut membuatnya semakin memahami tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas, khususnya yang sering kali tidak terlihat secara fisik.
“Disabilitas itu beragam, ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Saya merasakan sendiri bagaimana rasanya berjuang di ruang sosial yang belum sepenuhnya inklusif. Itulah yang mendorong saya untuk terus memperjuangkan ruang komunikasi yang ramah dan setara bagi semua,” ungkap Loretta.
Gerak Sehat 2025 juga menjadi momentum penting untuk memperkuat kesetiakawanan sosial antar penyandang disabilitas lintas ragam, sekaligus menjembatani interaksi dengan masyarakat umum. Loretta menilai bahwa ruang perjumpaan seperti ini penting untuk mengikis stigma dan membangun pemahaman bersama.
“Acara ini mempertemukan teman-teman disabilitas dengan ragam yang berbeda, juga dengan teman-teman non-disabilitas. Harapannya, tercipta interaksi yang alami, saling belajar, dan saling menguatkan. Inklusi tidak bisa dibangun sendirian, tetapi melalui kebersamaan,” jelasnya.
Dengan jumlah peserta yang mencapai lebih dari 1.800 orang, Gerak Sehat 2025 menjadi salah satu kegiatan inklusif berskala besar yang diharapkan dapat menjadi contoh praktik baik kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Loretta menekankan bahwa dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi bagian penting dalam mewujudkan ruang publik yang ramah disabilitas.
“Kolaborasi ini menunjukkan bahwa inklusi adalah tanggung jawab bersama. Ketika pemerintah, komunitas, dan masyarakat berjalan seiring, maka kesejahteraan sosial yang inklusif bukan sekadar cita-cita, melainkan kenyataan,” ujarnya.
Ke depan, Loretta berharap kegiatan serupa dapat terus dilakukan secara berkelanjutan dan diperluas cakupannya, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di berbagai daerah lainnya. Ia ingin semakin banyak ruang terbuka di mana penyandang disabilitas dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan berdaya bersama.
“Harapan saya sederhana, semoga ruang-ruang seperti ini semakin banyak. Ruang di mana teman-teman disabilitas bisa berinteraksi lintas ragam disabilitas, sekaligus dengan masyarakat umum, tanpa sekat dan tanpa stigma. Karena pada akhirnya, kita semua ingin hidup sejahtera dan bahagia bersama,” pungkas Loretta.
Dengan semangat Sapa, Senyum, Sahabat Inklusi, Gerak Sehat 2025 diharapkan menjadi simbol nyata bahwa inklusi bukan hanya tentang akses, tetapi juga tentang rasa diterima, dihargai, dan dirayakan dalam kebersamaan.***






