Jakarta, Teknostyle.id -Pemikiran Mohammad Natsir dalam bidang perdamaian internasional dapat berkontribusi besar dalam pengembangan teori hubungan internasional (HI) dari perspektif Nusantara.
Hal itu disampaikan Peneliti Center for Policy Research Universiti Sains Malaysia (USM), Pizaro Gozali Idrus, menurutnya gagasan-gagasan Natsir memiliki relevansi yang mendalam dalam pembentukan konsep hubungan internasional yang lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya dan geopolitik kawasan Asia Tenggara.
Dalam webinar yang digelar oleh Nusantara School of Thought pada Kamis malam (28/11/2024) di USM Malaysia, Pizaro membahas lima gagasan utama Natsir yang menurutnya penting untuk menciptakan perdamaian internasional. Kelima gagasan tersebut yaitu mulai dari Politik Bebas Aktif, yang menekankan independensi geopolitik, tanpa terikat pada blok manapun, baik AS maupun Uni Soviet. Selain itu Kemerdekaan dari Kolonialisme, yang menjelaskan perjuangan kemerdekaan negara-negara dari penjajahan, seperti yang terjadi di Aljazair, Tunisia, dan Palestina.
Ketiga yaitu mempererat hubungan diplomatik terkait embangun kembali hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara yang sempat terpecah, seperti Malaysia, Jepang, dan Arab Saudi.
Keempat, yaitu terkait solidaritas dunia Islam, yang menunjukkan komitmen terhadap solidaritas umat Islam di berbagai negara, seperti Afghanistan, Bosnia, dan Patani. Terakhir yaitu persatuan nasional Indonesia terkait memperkuat persatuan dan kesatuan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pizaro menambahkan bahwa gagasan-gagasan ini menunjukkan bahwa Natsir tidak hanya berperan sebagai pemikir perdamaian domestik, tetapi juga memiliki kontribusi penting terhadap perdamaian global.
“Gagasan-gagasan ini menunjukkan bahwa Natsir tidak hanya berperan sebagai pemikir perdamaian domestik, tetapi juga memiliki kontribusi penting dalam kajian perdamaian global,” ujar Pizaro dalam acara yang mengangkat tema pembangunan dan perdamaian itu.
Meski tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri atau pemimpin partai Masyumi, Natsir terus memainkan peran penting dalam perdamaian internasional, salah satunya melalui upayanya dalam memulihkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Pizaro mengungkapkan bahwa Natsir berperan besar dalam rekonsiliasi kedua negara pasca-perpecahan yang terjadi pada periode 1963-1966, meskipun ia saat itu sedang mendekam di penjara pada masa Orde Baru.
Relevansi Pemikiran Natsir dalam Teori Hubungan Internasional
Pizaro juga menilai bahwa pemikiran Natsir terkait perdamaian internasional sangat terkait dengan berbagai teori hubungan internasional yang sudah ada, seperti konstruktivisme, pascakolonialisme, teori pembangunan perdamaian, dan transnasionalisme.
Namun, Natsir memiliki kekhasan dalam hal menekankan nilai persaudaraan dan prinsip-prinsip Islam dalam diplomasi internasional, yang berhubungan dengan teori post-sekularisme dalam politik global.
Menurut Pizaro, politik bebas aktif yang diusung oleh Natsir adalah pendekatan geopolitik yang khas, yang lahir dari pemikiran para pendiri bangsa Indonesia.
Ia juga menambahkan bahwa gagasan Natsir tentang kedaulatan maritim Nusantara, terutama melalui mosi integral, sangat relevan dalam konteks perselisihan wilayah seperti di Laut China Selatan.
Membangun Perspektif Nusantara dalam Hubungan Internasional
Pizaro mengingatkan bahwa pemikiran Natsir berakar pada norma, etika, dan ideologi yang bernilai, berbeda dengan pendekatan hubungan internasional yang cenderung materialistik dan kapitalistik.
Untuk diketahui, Nusantara School of Thought (Mazhab Nusantara) merupakan hasil kolaborasi empat institusi di Malaysia dan Indonesia: Centre for Policy Research USM, Peneleh Research Institute, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan Universiti Muhammadiyah Malaysia. Kolaborasi ini telah dimulai sejak Desember 2023 dan bertujuan untuk menggali dan mengembangkan perspektif keilmuan yang berlandaskan pada budaya, agama, filsafat, hukum, dan politik Nusantara.
Profesor Madya Dr. Aji Dedi Mulawarman, dari Peneleh Research Institute, menambahkan bahwa kolaborasi ini sudah melibatkan lebih dari sepuluh diskusi yang membahas berbagai topik, mulai dari sejarah arkeologi hingga politik, dengan fokus pada tokoh-tokoh Nusantara serta ekskavasi situs-situs bersejarah.
“Sudah lebih dari 10 kali kami mengadakan diskusi, yang mencakup berbagai topik seperti sejarah arkeologi, antropologi, politik—baik itu tentang tokoh-tokoh maupun ekskavasi situs,” jelas dia.
Semua kegiatan ini, kata dia, mengarah pada keserumpunan sebagai bagian dari Nusantara.
“Kami berasal dari berbagai unit serta mengembangkan perspektif dari sisi keilmuan budaya, agama, filsafat, hukum, politik, dan sebagainya,” ujar dia. (Aprilia Rahapit)