Dalam keterangan tertulis yang diterima Teknostyle.id, Rabu (25/12/2024), Ekonom senior dan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, mengungkapkan bahwa sektor industri Indonesia selama ini tumbuh rendah, hanya sekitar 3-4 persen per tahun.
Menurutnya, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, seperti 7 persen yang dicanangkan Presiden Jokowi atau bahkan 8 persen pada masa pemerintahan Prabowo Subianto, sektor industri harus menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik.
Sektor industri Indonesia, lanjut Prof. Rachbini, telah terjebak dalam deindustrialisasi dini, dimana kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dan indeks PMI sektor industri berada di bawah 50 persen.
Untuk keluar dari situasi ini kata dia, diperlukan strategi re-industrialisasi yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara optimal, serta pengembangan industri berbasis sumber daya alam yang dapat bersaing di pasar internasional. Strategi ini, menurutnya telah terbukti efektif pada era 1980-an dan awal 1990-an, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen.
Namun, tantangan yang dihadapi saat ini adalah perlambatan permintaan global, yang membuat penetrasi pasar internasional semakin sulit. Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari pasar baru di luar kawasan Eropa, Cina, dan Amerika Serikat, serta memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara lain. Diplomat Indonesia, khususnya para duta besar, diharapkan dapat berperan aktif dalam meningkatkan ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan bilateral.
Selain masalah sektor industri, Prof. Rachbini juga menyoroti permasalahan fiskal yang menjadi hambatan dalam mencapai target pertumbuhan tinggi. Utang pemerintah Indonesia terus meningkat, dengan rasio utang terhadap PDB naik dari 26 persen pada 2010 menjadi 38,55 persen pada 2024.
Total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.473,90 triliun per September 2024. Hal ini mencerminkan kebijakan ekonomi yang bergantung pada utang tanpa kontrol yang ketat, yang berisiko menggerogoti anggaran negara.
Akibat dari tingginya utang, suku bunga obligasi Indonesia juga meningkat drastis, mencapai 7,2 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Hal ini berdampak pada kualitas belanja negara yang semakin buruk, dimana porsi untuk membayar bunga utang semakin besar, sementara belanja produktif semakin menyusut.
Di tengah tantangan tersebut, Prof. Rachbini mengingatkan bahwa pengelolaan ekonomi nasional memerlukan kebijakan yang lebih fokus dan realistis agar dapat mencapai target pertumbuhan yang tinggi. Dalam catatan akhir tahun ini, beliau berharap pemerintah dapat mempertimbangkan solusi kritis untuk memperbaiki ekonomi Indonesia ke depan. (AR).